Meluruskan Sanksi PPN Ekspor Untuk Indonesia Maju
Karsino Miarso,
Monday, 07 September 2020
Ada kabar baik di tengah ujian berat Bangsa ini dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan ancaman resesi ekonomi. Bank Dunia belum lama ini menaikkan status Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income) dari sebelumnya negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income). Sebuah penantian panjang yang diklaim Presiden Joko Widodo sebagai langkah positif bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan kelas menengah (middle income trap) dan menjadi negara maju pada 2045.
Salah satu indikator Bank Dunia dalam membagi kelas-kelas ekonomi setiap negara mengacu pada Pendapatan Nasional Bruto atau Gross National Income (GNI) per kapita. Ada empat klasifikasi status ekonomi berdasarkan GNI: Low Income (USD 1.035), Lower Middle Income (USD 1.036 – USD 4.045), Upper Middle Income (USD 4.046-USD 12.535), dan High Income (>USD 12.535).
Pada 2019, GNI perkapita Indonesia naik menjadi USD4.050 dari sebelumnya USD3.840. Capaian ini menandakan berakhirnya pergulatan panjang Indonesia selama 23 tahun sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah sejak 1995. Indonesia kalah cepat naik kelas jika dibandingkan dengan negara-negara selevel seperti Brasil (20 tahun), Meksiko (17 tahun), Malaysia (22 tahun), dan Thailand (19 tahun). Bahkan, Bappenas menilai Indonesia terlambat enam tahun untuk bisa keluar dari middle income trap, yang sesuai target seharusnya bisa tercapai pada 2030.
Baca juga: Pandemi, Resesi dan Nasib Pajak Tahun Ini
Sebagai warga negara kita tentu patut berbangga. Namun, tetap harus mawas diri dan jangan sampai terlena dengan status ekonomi baru ini. Sebab, jika ada peluang naik kelas maka akan selalu ada risiko turun kelas seperti yang dialami oleh Aljazair, Sri Lanka, dan Sudan. Terlebih di tengah ancaman resesi global yang sampai detik ini telah mendera ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.
Kebijakan Ekspor
Bicara soal mimpi Indonesia menjadi negara maju, berdikari atau kemampuan memenuhi kebutuhan dalam negeri menjadi isu besar. Apabila menilik struktur ekonomi negara-negara maju di atas, manufaktur dan ekspor menjadi tulang punggung utama. Sayangnya, Indonesia jauh dari kata ideal untuk dua indikator tersebut. Fenomena deindustrialisasi yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir menjadi PR besar bagi Bangsa ini. Defisit neraca perdagangan adalah indikator paling riil untuk melihat rapuhnya perekonomian Indonesia.
Menariknya selama beberapa bulan terakhir, BPS mencatat Indonesia mengalami surplus neraca dagang. Posisi Juli 2020, neraca perdagangan Indonesia surplus USD 3,26 miliar. Sayangnya, surplus tercipta bukan karena ekspor yang bertumbuh melainkan karena nilai impor Indonesia anjlok lebih dalam ketimbang ekspor. Dengan kata lain, ekspor dan impor sama-sama terjun bebas di tengah pandemi dan krisis ekonomi global saat ini. Kedua indikator tersebut menunjukkan rendahnya permintaan domestik dan lesunya kegiatan produksi industri manufaktur nasional.
Pemerintah bukannya tanpa upaya untuk memperkuat struktur ekonomi yang rapuh. Berbagai kebijakan insentif perpajakan dan stimulus ekonomi terus diberikan untuk menggairahkan kembali pelaku industri dan meningkatkan kinerja ekspor. Terlebih di tengah kondisi ekonomi yang hampir mati suri akibat pandemi.
Baca juga: Menyoal PPN Atas Pemberian Cuma-Cuma di Tengah Pandemi Covid-19
Salah satu fasilitas yang disediakan pemerintah untuk mendorong ekspor adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif 0% untuk kegiatan ekspor barang dan jasa tertentu, sebagaimana diatur pada Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang PPN.
Menyoal Sanksi PPN
Semangat dari kebijakan fasilitas PPN 0% ini sangat bagus, tetapi dalam tataran pelaksanaan administrasi perpajakannya kerap kali membingungkan eksportir. Misalnya, penerapan sanksi administrasi PPN, yang antara lain karena Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan faktur pajak yang diterbitkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN atau melaporkan tetapi tidak sesuai dengan masa penerbitannya (tidak tepat waktu). Dalam konteks ekspor, dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dipersamakan dengan faktur pajak.
Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, khususnya Pasal 14 Ayat (4) disebutkan: “…selain harus membayar PPN yang terutang, Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak dikenakan denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak…”
Redaksi yang diawali dengan “...selain harus membayar PPN yang terutang…" mengandung arti bahwa sanksi denda 2% hanya akan dikenakan jika ada PPN yang terutang.
Dengan demikian, terkait dengan transaksi ekspor yang PPN-nya 0%, menurut ketentuan tersebut seharusnya tidak dapat dikenakan sanksi denda 2% dari nilai ekspor jika dokumen PEB belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN atau dilaporkan tetapi tidak tepat waktu (telat lapor).
Baca juga: Menguji Kredibilitas Fiskal Saat Krisis & Pandemi Covid-19
Fakta di lapangan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerapkan sanksi tersebut terhadap transaksi ekspor sekalipun PPN yang terutang nihil. Padahal, tidak atau telat dilaporkannya faktur pajak dalam SPT tersebut semata-mata merupakan kesalahan administratif yang tidak menyebabkan kerugian pada negara, mengingat PPN atas eskpor yang 0%.
Kepastian Hukum
Penerapan sanksi ini harus diluruskan oleh Otoritas Pajak. Direktur Jenderal Pajak sudah semestinya mengeluarkan kebijakan atau aturan pelaksanaan terkait hal ini agar implementasi ketentuan perpajakan tetap berada pada rel yang semestinya. Dan yang tidak kalah penting adalah eksportir–sebagai pemasok utama devisa negara–jangan sampai mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari petugas pajak.
Baca juga: Isu Pajak di Tengah Polemik Kenaikan BPJS Kesehatan
Ini hanyalah salah satu kasus kecil dari sekian banyak multitafsir ketentuan administrasi perpajakan yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Karenanya, untuk memuluskan langkah Indonesia keluar dari middle income trap pada 2030 atau bahkan menjadi negara maju pada 2045, bersihkan dulu kerikil-kerikil tajam semacam ini. Karena banyak mimpi besar berawal dari hal kecil. Sebaliknya, persoalan kecil jika dibiarkan menumpuk bisa menciptakan fenomena “Gunung Es” yang bisa mengancam masa depan.
Tulisan ini adalah pengingat sekaligus penyemangat bagi Bangsa ini, yang diusianya ke 75 tahun ini menggelorakan “Indonesia Maju”.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Jawapos.com, 1 September 2020
World Bank, BPS, Jawapos, Republika, Tirto, CNN IndonesiaDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.